"Marah memang menjadi pelampiasan atas kekesalan hati. Namun sadarkah
bahwa dengan marah kamu kehilangan banyak energi? Pikiran kita menjadi
tidak tenang, tidak fokus. Dalam banyak hal, marah bukan solusi. Jika
kamu marah-marah sambil mengemudi seperti ini bisa-bisa malah
menimbulkan celaka. Lalu, apakah dengan marah-marah lalu lintas menjadi
seperti yang kamu inginkan?" bapak di samping saya itu bertutur dalam
irama yang terjaga.
Saya jadi teringat dengan ucapan seorang motivator. "Apa yang di luar
kuasamu, lupakanlah. Jangan kamu pikirkan sebab akan menguras
energimu." Motivator ini bercerita tentang hilangnya barang-barang
berharga miliknya karena dirampok. Setelah melapor ke polisi dia pun
melupakannya. Tak mau mengingat-ingat atau menyesali keteledorannya.
Buat apa? Begitu katanya. Apakah dengan segala penyesalan atau sumpah
serapah ke perampok akan mengembalikan barang-barangnya?
Semenjak itu saya berusaha untuk meredam marah. Terlebih saat
mengendarai kendaraan. Jika sedang dalam kemacetan dan ada mobil lain
menyodok ingin merebut posisi ya kalau masih dalam batas kewajaran ya
saya biarkan saja. Enjoy aja! Begitu juga jika terpaksa harus berhenti
di belakang angkutan kota yang sedang menurunkan penumpang tapi tidak
meminggirkan kendaraannya, saya tidak membunyikan klakson berkali-kali.
Jika emosi langsung menghirup nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya
perlahan.
Seperti kata Aristoteles, semua orang bisa marah. Itu mudah! Akan
tetapi, marah dengan orang yang tepat, pada kadar yang sewajarnya, di
tempat yang cocok, dan untuk tujuan yang benar ... itu baru susah.
Sumber : http://intisari-online.com/read/marahlah-dengan-bijak